Friday, April 15, 2011

Tamu Yang Membawa Petaka

Aku lupa tepatnya tahun dan tanggal berapa peristiwa itu terjadi. Seingat saya, aku belum masuk sekolah. Tepatnya di suatu malam sekitar jam 21.00 lebih, saya terbangun dari tidur ketika ibuku menjerit-jerit menangis sambil memanggil tetangga untuk minta tolong. Maklumlah waktu itu kami tinggal di sebuah rumah yang berada di kebun yang terletak cukup jauh dari kumpulan rumah-rumah tetangga dan keluarga yang lain. Mungkin jaraknya lebih kurang sekitar 1 Km dari rumah yang lain.
Ketika terbangun, yang saya lihat pertama kalinya adalah ibu menangis sambil menjerit sangat kuat memanggil orang lain, sedangkan ayah mondar-mandir menenteng senapan – ketika itu hampir semua orang memiliki senapan untuk menjaga kebun dari babi hutan – sambil menahan perut yang berlumuran dengan darah dengan usus yang hampir keluar. Aku tidak mengerti apa-apa ketika itu, peristiwa apa yang sedang terjadi.
Barulah aku mengetahui ketika orang sudah berdatangan untuk menolong ayah dengan kondisi tubuh yang semakin lemas karena banyak mengeluarkan darah. Ternyata ayahku baru saja ditembak oleh orang yang tidak dikenal, ketika ia ingin membukakan pintu rumah untuk seorang tamu yang hendak menumpang minum di rumah kami. Tamu misterius yang hendak membunuh ayah tersebut, ternyata sudah membidikkan senapannya tepat di depan pintu sebelum anyah membukakan pintu untuknya.
Malam itu ayah tidak mengira sedikit pun kalau niat baiknya untuk membukakan tamu tersebut berakhir dengan penembakan yang hampir menembus ayah dan ibu sekaligus. Ibu yang memang dari awal sudah merasa ada firasat yang tidak baik atas kehadiran tamu di tengah malam yang hendak menumpang minum tersebut, ibu lantas mengikuti ayah dari belakang sembari mengingatkan ayah agar tidak segara membukakan pintu. Belum sempat ayah meraih kunci pintu, tiba-tiba “duaar” ledakan senapan tepat di depan ayah dengan jarak yang hanya beberapa centi meter saja. Sebuah peluru telah menembus tepat di perutnya, Ayah pun terjatuh dengan tubuh bersimba darah walaupun dia masih sempat berjalan mengambil senapan untuk membalas. Sedangkan ibu yang berada tepat di belakang ayah langsung berteriak histeris meminta tolong sehingga membangunkan kami semua.
Setelah banyak orang yang berdatangan, akhirnya ayah dibawa tetangga ke desa dengan satu-satu cara yaitu ditandu yang dibawa beberapa orang secara bergantian. Ada banyak orang yang membawa ayah ke desa, dengan harapan bisa segera mendapat perawatan di rumah sakit. Sedangkan aku sendiri ketika itu masih digendong oleh paman, karena perjalan di malam hari dengan jarak yang ditempuh untuk menuju desa sangat jauh. Tidak ada motor yang bisa lewat apalagi mobil untuk membantu perjalanan kami, yang ada hanya jalan setapak dengan melintasi hutan dan semak belukar serta beberapa kali menyeberangi sungai. Itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan ayah.
Kira-kira jam 05.00 pagi, barulah tiba rombongan kami ke desa setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam perjalanan kaki. Ayahku masih hidup, hanya saja tubuhnya semakin lemas. Tidak terlalu lama kami singgah di desa, kira-kira jam enam pagi, kami kembali berangkat menuju ke kota, tepatnya ibu kota kabupaten untuk membawa ayah ke rumah sakit. Kami dibawa menggunakan mobil jep tetangga untuk menuju kota. Kondisi jalan yang menuju ke kota kabupaten dari desaku tidaklah lebih baik dari pada berjalan kaki, kondisi jalan yang banyak berlumpur dan terputus-putus menyebabkan kami beberapa kali harus turun untuk menghindari terjebak di tengah lumpur. Kira-kira sekitar lebih kurang 5 km lagi sampai ke kota, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan kembali karena jalan terputus total. Sehingga untuk meneruskan perjalanan ke kota kami harus menggunakan transportasi sungai dengan menumpang perahu. Setelah melewati perjalanan lebih kurang setengah jam barulah kami tiba di rumah sakit yang kebetulan letak rumah sakit tersebut berada tidak jauh dari sungai musi yang baru saja kami lewati.
Setiba di rumah sakit ayahku langsung mendapatkan perawatan secukupnya. Karena kondisi ayah cukup kritis sedangkan peralatan yang ada di rumah sakit masih sangat terbatas. Akhirnya ayahku pun dirujuk ke rumah sakit di Palembang. Saya melihat ibu semakin sedih dan cemas melihat kondisi ayah yang semakin lemah, dengan memakai ambulan dan inpus yang terpasang akhirnya kami segera berangkat menuju Palembang dengan satu harapan nyawa ayah bisa diselamatkan.
*****
Hampir dua bulan lamanya kami menunggu proses kesembuhan ayah di rumah sakit Critas Palembang, dan selama itu pula kami tinggalkan kampung halaman. Beruntung selama perawatan ayah kami bisa menumpang tinggal di rumah salah seorang tetangga yang memiliki rumah di Palembang, sehingga kami tidak harus menyewa penginapan. Hampir setiap hari ibu bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga ayah sekaligus mengurusi kami. Keluarga tidak bisa membawa ayah langsung kembali ke desa walau pun sebenarnya pihak rumah sakit sudah memperbolehkan ayah rawat jalan, karena khawatir kalau ayah sewaktu-waktu masih membutuhkan perawatan. Sehingga kami baru bisa kembali ke desa setelah ayah benar-benar telah sehat.
Sewaktu itu, hanya saya yang disuruh ibu untuk kembali ke desa lebih awal bersama kakek. Sedangkan ayah, ibu dan adik saya akan segera kembali jika ayah sudah benar-benar sembuh. Saya dengan kakek pun pulang lebih awal dengan menumpang mobil bus menuju kota sekayu.
Setiba di sekayu, lalu kami menyeberang sungai musi menggunakan perahu tongkang, karena belum ada jembatan penyebrangan. Sebagian besar perjalanan menuju desa pun kembali harus kami lalui dengan berjalan kaki, karena jalan darat masih rusak berat. Beberapa kali di dalam perjalanan saya mengeluh kepada kakek karena kelelahan, namun kakek terus saja mengajak jalan. Karena kakek tidak mungkin dapat menggendong saya. Sehingga dengan langkah tertatih-tatih saya paksakan kaki untuk terus berjalan hingga sampai ke desa.
Setiba di desa, sempat saya merasakan demam karena keletihan berjalan kaki hampir seharian dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter. Akan tetapi rasa syukur dan senang atas keselamatan ayah segara mengobati kelelahan-kelelahan kami tersebut.

No comments:

Post a Comment