Friday, May 6, 2011

Refleksi Milad

Alhamdulillah ya rab, Tuhan penguasa sekalian alam. Sampai detik ini Kau masih memberikan waktu dan tarikan nafas kepada saya untuk tetap hidup di dunia ini, Engkau tetap memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa memperbaiki diri, dan bertaubat dari amal perbuatan yang Engkau larang, meskipun bisa dipastikan sebagian besar masa usia yang telah kulalui, dipenuhi dengan kemaksiatan, dan bergelimang dengan dosa. Di hari ini, dua puluh tujuh tahun sudah usiaku, meskipun tak ada perayaan – dan memang tidak perlu – saya ingin mencoba instropeksi diri dalam “memperingati” milad saya kali ini. Berbicara milad (ulang tahun), berarti berbicara waktu, waktu adalah suatu kepastian dan kemutlakan, waktu yang telah berlalu tidak akan pernah bisa dikembalikan, sementara waktu yang akan datang masih penuh dengan misteri, maka waktu kita hanyalah sekarang. Sekarang dan saat ini.

Berbicara tradisi ulang tahun, memang bagi sebagian orang menjadi suatu hal yang menarik, dan penuh kesan menarik. Kali ini tidak bagi saya, di usia yang genap dua puluh tujuh tahun ini, masih banyak hal yang membuat saya harus banyak instropeksi, berbenah diri dan belajar lebih giat lagi. Salah satunya masalah studiku yang saat ini masih belum selesai. Perjanjian dan batasan waktu yang diberikan oleh pihak fakultas telah membungkamku untuk tidak tertawa dan tersenyum ceria, setidaknya dalam sementara waktu. Sementara beban moral dan tanggungjawab kepada orang tua, benar-benar telah “menghilangkan” ingatanku terhadap segala sesuatu kecuali tugas akhir.

Jika kita ingin mengingat-ingat kembali masa lalu, mungkin sebagian kita pernah merayakan secara khusus hari ulang tahun kita, entah dengan hal-hal positif bahkan dengan hal yang negatif sekalipun. Dengan hal yang positif misalnya, dalam moment ulang tahun tersebut mungkin kita membangun kembali komitmen terhadap diri untuk menjadi lebih baik lagi, tidak mengulangi lagi hal-hal yang buruk seperti masa lalu, menjadi lebih rajin dan tekun dalam belajar, lebih ta’at dalam beribadah dan semacamnya. Atau sebaliknya menjadikan moment ulang tahun kita atau orang lain sebagai hal yang hura-hura dan tidak bermanfa’at, tidak dipungkiri saya pribadi pun pernah mengalaminya. Ketika Aliyah misalnya, entah diulang tahun yang keberapa, sebuah kiriman misterius sampai ke saya, tidak tanggung-tanggung sebuah kardus dengan muatan berat dikirimkan ke saya, ketika dibuka ternyata hanya beberapa permen, ucapan selamat ulang tahun dan sisanya sebagian besar batu bata. Kejadian serupa berulang kembali ketika masa kuliah, saya sampai tidak berani kuliah, gara-gara bau anyir, akibat beberapa butir telur menetas di atas kepala plus sekiloan tepung terigu. Yang lebih memprihatinkan lagi, suatu waktu teman saya sedang duduk santai di tepi kolam taman fakultas waktu jam istirahat, tiba-tiba ia diangkat oleh teman sekelas dan diceburkan di dalam kolam tersebut, kemudian beberapa butir telur komplit dengan gandum memenuhi tubuhnya.

Begitulah mungkin secuil potret cara kita merayakan hari ulang tahun . Khusus perayaan model kedua, hampir tak ada makna sama sekali, yang ada hanya hura-hura. Kita lupa bahwa di setiap ulang tahun kita, sesungguhnya masa hidup kita di dunia ini terus berkurang, ibarat suatu perjalanan yang menuju suatu tempat, maka perjalanan itu kian mendekat. begitu juga dengan usia kita. So jika kita sudah tahu kalau “perjalanan” kehidupan kita ini semakin mendekat dengan tujuan akhirnya, tidaklah sepantasnya kita masih hura-hura, sebaliknya kita mesti harap-harap cemas apakah bekal kita bisa mencukupi untuk sampai ke tujuan, yaitu akhirat kelak, dimana semua kita akan datang untuk memberikan pertanggungjawaban kepada-Nya.

Friday, April 15, 2011

Tamu Yang Membawa Petaka

Aku lupa tepatnya tahun dan tanggal berapa peristiwa itu terjadi. Seingat saya, aku belum masuk sekolah. Tepatnya di suatu malam sekitar jam 21.00 lebih, saya terbangun dari tidur ketika ibuku menjerit-jerit menangis sambil memanggil tetangga untuk minta tolong. Maklumlah waktu itu kami tinggal di sebuah rumah yang berada di kebun yang terletak cukup jauh dari kumpulan rumah-rumah tetangga dan keluarga yang lain. Mungkin jaraknya lebih kurang sekitar 1 Km dari rumah yang lain.
Ketika terbangun, yang saya lihat pertama kalinya adalah ibu menangis sambil menjerit sangat kuat memanggil orang lain, sedangkan ayah mondar-mandir menenteng senapan – ketika itu hampir semua orang memiliki senapan untuk menjaga kebun dari babi hutan – sambil menahan perut yang berlumuran dengan darah dengan usus yang hampir keluar. Aku tidak mengerti apa-apa ketika itu, peristiwa apa yang sedang terjadi.
Barulah aku mengetahui ketika orang sudah berdatangan untuk menolong ayah dengan kondisi tubuh yang semakin lemas karena banyak mengeluarkan darah. Ternyata ayahku baru saja ditembak oleh orang yang tidak dikenal, ketika ia ingin membukakan pintu rumah untuk seorang tamu yang hendak menumpang minum di rumah kami. Tamu misterius yang hendak membunuh ayah tersebut, ternyata sudah membidikkan senapannya tepat di depan pintu sebelum anyah membukakan pintu untuknya.
Malam itu ayah tidak mengira sedikit pun kalau niat baiknya untuk membukakan tamu tersebut berakhir dengan penembakan yang hampir menembus ayah dan ibu sekaligus. Ibu yang memang dari awal sudah merasa ada firasat yang tidak baik atas kehadiran tamu di tengah malam yang hendak menumpang minum tersebut, ibu lantas mengikuti ayah dari belakang sembari mengingatkan ayah agar tidak segara membukakan pintu. Belum sempat ayah meraih kunci pintu, tiba-tiba “duaar” ledakan senapan tepat di depan ayah dengan jarak yang hanya beberapa centi meter saja. Sebuah peluru telah menembus tepat di perutnya, Ayah pun terjatuh dengan tubuh bersimba darah walaupun dia masih sempat berjalan mengambil senapan untuk membalas. Sedangkan ibu yang berada tepat di belakang ayah langsung berteriak histeris meminta tolong sehingga membangunkan kami semua.
Setelah banyak orang yang berdatangan, akhirnya ayah dibawa tetangga ke desa dengan satu-satu cara yaitu ditandu yang dibawa beberapa orang secara bergantian. Ada banyak orang yang membawa ayah ke desa, dengan harapan bisa segera mendapat perawatan di rumah sakit. Sedangkan aku sendiri ketika itu masih digendong oleh paman, karena perjalan di malam hari dengan jarak yang ditempuh untuk menuju desa sangat jauh. Tidak ada motor yang bisa lewat apalagi mobil untuk membantu perjalanan kami, yang ada hanya jalan setapak dengan melintasi hutan dan semak belukar serta beberapa kali menyeberangi sungai. Itulah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh untuk menyelamatkan ayah.
Kira-kira jam 05.00 pagi, barulah tiba rombongan kami ke desa setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam perjalanan kaki. Ayahku masih hidup, hanya saja tubuhnya semakin lemas. Tidak terlalu lama kami singgah di desa, kira-kira jam enam pagi, kami kembali berangkat menuju ke kota, tepatnya ibu kota kabupaten untuk membawa ayah ke rumah sakit. Kami dibawa menggunakan mobil jep tetangga untuk menuju kota. Kondisi jalan yang menuju ke kota kabupaten dari desaku tidaklah lebih baik dari pada berjalan kaki, kondisi jalan yang banyak berlumpur dan terputus-putus menyebabkan kami beberapa kali harus turun untuk menghindari terjebak di tengah lumpur. Kira-kira sekitar lebih kurang 5 km lagi sampai ke kota, perjalanan dengan mobil tidak bisa dilanjutkan kembali karena jalan terputus total. Sehingga untuk meneruskan perjalanan ke kota kami harus menggunakan transportasi sungai dengan menumpang perahu. Setelah melewati perjalanan lebih kurang setengah jam barulah kami tiba di rumah sakit yang kebetulan letak rumah sakit tersebut berada tidak jauh dari sungai musi yang baru saja kami lewati.
Setiba di rumah sakit ayahku langsung mendapatkan perawatan secukupnya. Karena kondisi ayah cukup kritis sedangkan peralatan yang ada di rumah sakit masih sangat terbatas. Akhirnya ayahku pun dirujuk ke rumah sakit di Palembang. Saya melihat ibu semakin sedih dan cemas melihat kondisi ayah yang semakin lemah, dengan memakai ambulan dan inpus yang terpasang akhirnya kami segera berangkat menuju Palembang dengan satu harapan nyawa ayah bisa diselamatkan.
*****
Hampir dua bulan lamanya kami menunggu proses kesembuhan ayah di rumah sakit Critas Palembang, dan selama itu pula kami tinggalkan kampung halaman. Beruntung selama perawatan ayah kami bisa menumpang tinggal di rumah salah seorang tetangga yang memiliki rumah di Palembang, sehingga kami tidak harus menyewa penginapan. Hampir setiap hari ibu bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga ayah sekaligus mengurusi kami. Keluarga tidak bisa membawa ayah langsung kembali ke desa walau pun sebenarnya pihak rumah sakit sudah memperbolehkan ayah rawat jalan, karena khawatir kalau ayah sewaktu-waktu masih membutuhkan perawatan. Sehingga kami baru bisa kembali ke desa setelah ayah benar-benar telah sehat.
Sewaktu itu, hanya saya yang disuruh ibu untuk kembali ke desa lebih awal bersama kakek. Sedangkan ayah, ibu dan adik saya akan segera kembali jika ayah sudah benar-benar sembuh. Saya dengan kakek pun pulang lebih awal dengan menumpang mobil bus menuju kota sekayu.
Setiba di sekayu, lalu kami menyeberang sungai musi menggunakan perahu tongkang, karena belum ada jembatan penyebrangan. Sebagian besar perjalanan menuju desa pun kembali harus kami lalui dengan berjalan kaki, karena jalan darat masih rusak berat. Beberapa kali di dalam perjalanan saya mengeluh kepada kakek karena kelelahan, namun kakek terus saja mengajak jalan. Karena kakek tidak mungkin dapat menggendong saya. Sehingga dengan langkah tertatih-tatih saya paksakan kaki untuk terus berjalan hingga sampai ke desa.
Setiba di desa, sempat saya merasakan demam karena keletihan berjalan kaki hampir seharian dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter. Akan tetapi rasa syukur dan senang atas keselamatan ayah segara mengobati kelelahan-kelelahan kami tersebut.

Sunday, April 10, 2011

Kewajiban Itu Terasa Lebih Banyak dari Waktu yang tersedia...

Aku bangun mengambil air wuduh jam 05.00 wib, walaupun sebenarnya aku terjaga ketika adzan subuh berkumandang jam 04.30, badanku terlalu lelah karena habis berkatifitas siangnya. Dan aku pun tertidur sampai terbangun kembali pukul lima. Aku sholat berjama’ah, tapi hanya di mushola asrama, itupun karena salah seorang temanku – Amin- menyusul dibelakangku.

Ku paksakan untuk membaca al-ma’tsurat yang memang aku sudah menghafalnya, setelah itu dengan niat untuk menambah target tilawah, walaupun akhirnya aku hanya mampu menyelesaikan 3 lembar dari tilawahku pagi ini. Aku tidak terlalu khusyuk tilawah, karena pikiranku tertuju pada tumpukan kertas formulir pendaftaran KEMWIL yang dari hari kemarin menumpuk disamping kasurku dan belum sempat aku rekap. Padahal pagi nanti sekitar jam 08.00 aku harus melaporkan hasil rekapannya ke ketua panitia. Dengan rasa malas yang sangat, akhirnya berkas tersebut rampung aku rekap dengan seadanya.

Belum selesai aku mengetik , sebuah sms berbunyi “kak jam 8 kami tunggu ya di komsat, untuk surveinya”, bunyi SMS dari salah seorang panitia holiday camp kampus UIN untuk mengajak survei ke Kali Kuning. Padahal dari tadi aku sudah mempunyai rencana untuk membeli tinta keperluan panitia KEMWIL, kemudian ke sekolah untuk mencetak surat pemberitahuan ke POLSEK dan POLRES Sleman, serta menitipkan cetakan cocard ke SMPIT sehabis merampungkan merekap data tersebut.

Pikiran jadi bertambah bingung ketika SMS permintaan ma’afku tidak bisa ikut survei dijawab balik oleh panitia Holiday Camp UIN. “kami tidak ada yang tau tempatnya kecuali kakak”, balas SMS panitia itu lagi. Padahal saat itu aku benar-benar tidak punya waktu. Dengan segala usaha, akhirnya aku terpaksa meng-cancel beberapa rencanaku, cocard pesanan panitia KEMWIL yang minta diantarkan, aku titipkan dengan teman sebelah kamar, mencetak suratnya dipending dahulu, tinta yang mau diantar ke sekolah ditunda besok karena ketika aku telpon kembali ketua Panitia KEMWIL katanya belum dibutuhkan pagi ini, dan laporan rekap aku kirim saja dengan via email ke ketua panitia KEMWIL. Selesai.

Aku pun baru bisa ikut berangkat mendampingi panitia holiday camp kampus skitar jam 9 pagi setelah sebelumnya berputar-putar kebingungan sendiri karena tidak tahu yang mana harus aku prioritaskan dari kegiatan-kegiatan tersebut.

Dengan dibonceng teman, serta diikuti 3 motor yang lain diantaranya ada dua orang akhwat, kami bereangkat ke kali kuning. Belum sampai ke tujuan, kunci motor ternyata terjatuh dalam perjalanan tersebut, karena memang kunci motor saya sudah los. Entah sudah berapa kali aku mengalami kejadian kunci jatuh ini, mungkin sudah hampir sekitar 7 kalian. Aku memang kurang bisa megambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang saya alami. Andaikan saja saya mau mengambil pelajaran, mungkin sebaiknya kunci tersebut diikatkan saja, biar tidak terulang lagi. Konsekuensi dari jatuhnya konci tersebut kami tidak bisa menghidupkan motor, serta bakal mendorong motor sampai ketemu tukang kunci untuk membuat duplikat kunci baru.

Tanpa ambil pusing dengan hilangnya kunci motor tersebut, yang penting sekarang kami bisa sampai ke tempat tujuan yang akan disurvei, yaitu wilayah kali kuning dan lava tour Kali Adem, termasuk di dalamnya penginapan Mbah Udi (Adiknya Mbah Marijan), serta Buper yang terletak di belakang rumahnya penjaga gunung merapai yaitu Mbah Marijan.
Setelah survei beberapa tempat untuk kegiatan jurit malam dan lapangan buper, adzan zuhur menghentikan kegiatan survei kami. Dengan perut yang sudah lapar, haus, kami pun menuju masjid di depan rumah mbah Marijan, sesampai di masjid ternyata mbah Marijan baru saja menyelesaikan sholat zudhur berjama’ah dengan mbah Udi (adiknya) dan kami pun sempat bersalaman dan berbincang-bincang sebentar. Tanpa menyia-nyiakan waktu, salah seorang diantara kami langsung berinisiatif memesan makan siang ke mbah Udi. Kami memesan nasi dan mie + telur goreng untuk 8 porsi ke mbah udi. Semantara menunggu makan siang, Kami berwuduh dan sholat berjama’ah di masjid mbah Marijan itu. Zuhur sudah kami tunaikan, tibalah waktu mengisi perut.

Makan siangnya kami gelar langsung di dapur mbah Udi, 1 baskom Nasi, 8 mangkok mie rebus, 8 buah telor ceplok plus oseng-oseng kates. Tanpa banyak basa-basi kami berhasil menghabiskan semuanya, kecuali nasi yang masih tersisa separuh. Sedangkan dua orang akhwat hanya makan mie dan telur ceplok saja tanpa nasi. Makannya sedikit tidak kayak ikhwan, mungkin mereka malu??? Atau memang seperti itulah porsi mereka.

Tugas kami tinggal satu lagi, yaitu survei tempat outbound. Wilayah kali kuning yang kami pilih. Karena satu motor harus didorong dan sekali-sekali dinaiki karena kuncinya hilang. Maka yang survei tempat outbound di sekitar kali kuning, hanya dua motor, sedangkan satu motornya lagi (akhwat) lebih memilih menunggu di jalan saja. Aku berfikir, daripada hanya menunggu di jalan seperti ini, sepertinya lebih baik pulang duluan sembari mencari tukang kunci di sepanjang perjalanan. Setelah berpamitan dengan panitia yang lain, saya dangan temanku pulang duluan. Di dalam perjalan pulang beberapa kali kami harus mendorong motor, karena jalannya tidak sepenuhnya menurun, tetapi adakala tanjakan atau jalan datar. Sehingga motor harus kami dorong. Perjalanan yang melelahkan, beruntung sebagian jalan pulang (jalan kali urang) adalah turunan, jadi kami bisa naiki motor yang mati tersebut. Dipikir-pikir, lumayan juga bisa sekalian menghemat bensin, walaupun beresiko rusak mesin motor. ah … bodoh amat, yang penting bisa segera menemukan tukang kunci.

Alhamdulillah, kami baru menemukan tukang kunci setelah lewat kampus UII. Motor bisa hidup kembali, jam menunjukkan angka tiga, adzan asar sedang berkumandang. Dengan rasa lega, langsung tancap gas untuk pulang ke kos, dengan satu harapan bisa segera istirahat setelah kelelahan dari survei dan menuntun motor.

Malang belum habis, sesampai di depan pintu kamar, ternyata kunci kamarku juga hilang. Semua kantong dan tas sudahku buka, namun kunci kamar tersebut tetap tidak ada. Padahal aku yakin benar tadi ketika masih di kali kuning kunci tersebut ada, bahkan sempat ku cobakan untuk menghidupkan motor. Dengan badan lelah serta berkeringat, aku duduk di depan kamar sambil memandang pintu yang tidak bisa dibuka. 15 menit lagi hari menunjukkan jam 4, padahal tadi pagi ketika mau berangkat survei, aku mengiyakan undangan seorang pengurus organiasai untuk bisa hadir dalam rapat organiasasi kedaerahan di sebuah masjid sekitar kampus UGM. Aku harus segera mengambil keputusan diantara dua pilihan, segera menjebol kunci pintu, masuk dan berangkat rapat. Atau sebaliknya nelpon minta izin, terus menjebol pintu lalu istirahat. Pilihan jatuh pada pilihan kedua, aku pun izin dan alasannya ternyata bisa diterima oleh yang mengundangku.

Kunci pintu berhasilku jebol, setelah sebuah batu beberapa kali ku pukulkan ke gembok yang terkunci tersebut. Aku berhasil masuk dan bisa istirahat.
Entah apa yang mempengaruhi pikirankku, ketika berhasil masuk kamar dan mau menunaikan sholat asar, ada perasaan ingin tetap hadir dalam rapat sore ini, sekalipun aku sudah mendapatkan izin tidak datang. Ku kirimkan saja sms pertanyaan apakah rapat sudah mulai atau sudah hampir selesai. Karena aku yakin sekalipun aku datang, pasti sudah terlambat. Jawaban ternyata lain, bahwa rapat baru saja mau dimulai. Setelah menunaikan sholat asar, tanpa berfikir lagi, dengan perasaan terburu-buru karena sudah terlambat, aku langsung mengambil tas dan berangkat dengan motor menuju masjid Nurul Barokah di jalan kaliurang Km.5.

Setiba di masjid tersebut, pandangan tertuju pada sandal dan sepatu yang berjejer di samping masjid yang menandakan ada pertemuan di dalamnya. Dengan sedikit lari-lari kecil aku langsung masuk masjid, betul sekali, sebuah pertemuan sedang berlangsung dengan sebuah hijab pengahalang diantara peserta putra dan putrinya. Setelah terlebih dahulu mengucapkan salam. Aku pun langsung menyalami peserta rapat putranya satu persatu dengan ramah dan sedikit ucapan permohonan ma’af atas keterlambatan saya, lalu mengambil posisi duduk disamping mereka. Rapat pun terhenti sejenak atas kehadiran saya, dengan semua pandangan tertuju kepada saya. Dengan sikap peserta rapat seperti itu, dalam hati saya pun mulai bertanya-tanya, sepertinya saya tidak mengenal satu orang pun diantara mereka. Allahu Akbar, ternyata benar, ini bukan teman rapat saya. Dengan refleks langsung saya megeluarkan HP dari dalam kantorng seolah-olah menerima telpon, lalu pergi meninggalkan ruang masjid dengan rasa malu serta geli atas peristiwa nahas tersebut.

Setelah saya telpon teman, benar saja, ternyata tempat rapatnya bukan di dalam masjid, tetapi di ruang TPA di bagian sebelah belakang masjid. Akhirnya sampai rapat berakhir dengan datangnya adzan magrib yang ada dalam pikiranku hanya perasaan malu yang sulit untuk dilupkan terhadap kejadian nahas tersebut. Diakhir salam sholat magribku di masjid tersebut, aku mencoba merenung atas peristiwa-peristiwa yang aku alami sepanjang hari ini, serta berusaha untuk mengambil pelajaran darinya.
 

© free template by Blogspot tutorial